Tridaya Mandala Borobudur Festival 2025: Industri pariwisata berdasarkan identitas dan budaya lokal

Tridaya Mandala Borobudur Festival 2025: Industri pariwisata berdasarkan identitas dan budaya lokal


Festival Musik Tridaya Mandala Borobudur 2025 adalah acara penting bagi aktivis pariwisata dan komunitas pemuda dari berbagai daerah untuk menghadapi tantangan dalam pembangunan tujuan wisata nasional. Selama lokakarya tentang tema “pariwisata berdasarkan identitas dan budaya lokal” yang dipegang oleh Taman Lumbini pada Selasa malam (24/6), para peserta mengkritik model pengembangan pariwisata dalam program “Balu Bali”, yang sering dianggap bebas dari partisipasi komunitas lokal.

Sebuah festival musik yang diprakarsai oleh manajemen Mahajava Aksata, sebuah komunitas pemuda di Bobdul, mendorong model pariwisata berkelanjutan yang menempatkan identitas budaya sebagai pusat pengembangan. Selain diskusi, festival ini juga memperkenalkan berbagai program pemuda setempat, termasuk pengembangan batik berwarna alami Borobudur, yang dikemas ke panggung peragaan busana.

“Kami menyediakan pengembangan seni dengan identitas lokal yang dapat dikelola terus menerus,” kata Dwias Panghegar, hubungan masyarakat.

Seminar ini menyatukan pemuda dari 10 tujuan wisata prioritas nasional, serta pembicara dari berbagai wilayah program Bali, termasuk:

Masro Delima Silalahi, anggota Parlemen Ruang Inisiatif TOBA

Direktur Eksekutif Regional Walhi NTB Amri Nuryadin

Gregory Afioma, pendiri jaringan dokumenter Flores

Wayan Sumahardika, sponsor konferensi seni pertunjukan Bali

Aquino Hayunta, tuan rumah

Pembicara mengungkapkan bahwa perkembangan skala besar di daerah wisata sering kali memiliki dampak negatif pada lingkungan, masyarakat adat dan warisan budaya.

Masro Delima memberikan contoh pengalaman Danau Toba, di mana konflik lahan dan pertanian muncul karena proyek infrastruktur pariwisata. “Pemindahan fungsi tanah dan konflik tanah sebenarnya memicu ketegangan sosial dan mengikis kebijaksanaan lokal penduduk TOBA,” katanya.

Demikian pula, Amri Nuryadin dari Lombok menyebut program Bali Baru cara untuk menyatukan industri pariwisata negara itu tanpa mempertimbangkan keunikan budaya masing -masing wilayah. “Konsep pariwisata adalah model di mana proyek menguntungkan investor sambil mengabaikan pendekatan berbasis masyarakat. Ini gejolak kami,” katanya.

Secara lokal, Dwias Panghegar mengangkat masalah sosial yang timbul dari Borobudur, karena wilayah ini ditetapkan sebagai Zona Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Dia mengatakan keberadaan desa seni telah menyebabkan ketidakseimbangan dalam akses pedagang kaki lima. Dia berkata: “Kuil Bobdull tidak akan tanpa harmoni. Itulah nilai yang diindoktrinasi oleh leluhur dan harus dipertahankan.”

Seminar berakhir dengan panggilan telepon bersama untuk memprioritaskan prinsip -prinsip keadilan sosial dan perlindungan budaya dalam pembangunan tujuan wisata. Forum ini diharapkan menghasilkan solusi konkret untuk mengembalikan arah pengembangan pariwisata untuk mengadopsi jalur yang lebih inklusif dan berkelanjutan.



Review Film
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime

Gaming Center

Berita Olahraga

Lowongan Kerja

Berita Terkini

Berita Terbaru

Berita Teknologi

Seputar Teknologi

Berita Politik

Resep Masakan

Pendidikan

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *